Kenapa harus dita’zir ?
Kata “ta’zir” diadopsi dari bahasa arab yang artinya “man’u” (upaya pencegahan). Kemudian ulama’ ahli fiqh mendefinisikannya ke sebuah pelaksanaan tindakan hukum atas pelanggaran yang berupa kema’siatan atau tindakan kriminal (jinayah) yang tidak sampai mewajibkan had (undang-undang yang ditetapkan dengan nas Al Qur’an). Selain ta’zir dan had dalam Islam masih ada tindakan hukum yang lain seperti qishosh, kafarot dan diyat. (fiqhul islami, juz 6 hal. 211)
Disyari’atkannya ta’zir dalam Islam bukanlah untuk merongrong kebebasan manusia dalam menggunakan hak asasinya, namun ta’zir bertujuan untuk membendung ajakan hawa nafsu yang ada pada diri setiap insan (amaroh bissu’) dari melakukan hal-hal yang tidak pantas dengan predikatnya sebagai kholifah dimuka bumi.
Mengenahi legalitas pelaksanaan ta’zir, wewenangnya diberikan kepada pihak-pihak tertentu, diantaranya :
1. IMAM (PENGUASA), diberi wewenang untuk memberi tindakan ta’zir di wilayahnya dan biasanya dilimpahkan kepada pihak penegak hukum sebagai bawahannya.
2. BAPAK, untuk memberi tindakan kepada putra-putrinya selama masih belum baligh dan menurut Imam Rofi’i dalam masalah ini, Ibu kedudukannya sama dengan bapak. (i’anatuth tholobien, juz 4 hal. 191)
3. GURU, diberi wewenang untuk memberi tindakan kepada murid-muridnya dengan catatan harus direstui oleh wali murid walaupun siswa yang bersangkutan sudah baligh, namun dalam masalah ini masih dipertentangkan para ulama. (i’anatuh tholibien, juz 4 hal. 191 dan fawaidul janiyah juz 2 hal. 271)
4. SUAMI, ta’zir bagi suami merupakan alternatif terakhir setelah ia memusyawarahkannya dan memberi peringatan kepada istri tetapi sang istri belum memenuhi kewajibannya, dalam istilah fiqh dikenal dengan istilah nusuz.
5. SAYID, bagi hambanya.
Islam dalam masalah ta’zir tidak memberi aturan-aturan baku karena itu diserahkan sepenuhnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan sehingga formula ta’zir yang sering kita temukan di pesantren-pesantren beraneka ragam. Dalam kitab fiqh contoh-contoh ta’zir yang dikemukakan seperti ditahan, gundul, dipukul dan sebagainya,(i’anatuth tholibien juz 4 hal. 192) hanya saja yang menjadi batasan dalam ta’zir adalah tidak mengakibatkan kerusakan yang fatal ( salamatul ‘aqibah ) seperti patahnya tangan, rusaknya selaput gendang dan sebagainya. Mengenai ta’zir dengan harta masih dipertentangkan ulama, namun menurut ulama yang memperbolehkannya, seperti Imam Ibnu Yusuf mengartikan ta’zir bilmaal dengan menahan hartanya orang yang dita’zir kemudian mengembalikannya setelah selang beberapa waktu, bukan mengambilnya lebih-lebih memanfaatkannya,(fiqhul islami juz 6 hal. 201-202) jadi kalau atas nama ta’zir tidak diperkenankan mengambilnya.
Walhasil, ta’zir memang dibenarkan dalam Islam tapi tidak semudah apa yang kita bayangkan !!
#Nong_Ji_Nong_roo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar